PDI-P dan Gerindra, Dua sisi Mata Koin

Pandangan saya terhadap PDI-P cenderung diwarnai lensa romantis masa lalu. Saya masih ingat, saat saya masih SD dan Megawati diumumkan sebagai Presiden, seorang teman saya dengan bangganya menunjukkan stiker banteng bermata merah yang ia tempelkan di mejanya. Megawati dan PDI-P adalah sinonim dengan gerakan anti orde-baru, dan saya menghormati konsistensinya. PDI-P adalah satu-satunya partai yang masih mempertahankan posisinya sebagai partai “wong cilik” yang jarang mengambil pilihan-pilihan kontroversial dalam sidang di parlemen. Apabila Megawati masuk hitungan sebagai salah satu cendekia pendiri Reformasi selain Amien Rais, Gus Dur dan Habibie, maka ialah satu-satunya yang masih aktif berkecimpung dalam politik praktis sehari-hari. Ia juga satu-satunya yang belum kehilangan kontrol terhadap partai yang ia dirikan.

Namun kecendrungan PDI-P kepada kultus individu Megawati juga menjadi kelemahan yang sangat mudah ditelisik. Pergerakan partai ini sangat jauh dari dinamis. Perhitungan-perhitungan politiknya sangat konvensional, dan mudah ditebak. Satu-satunya hal yang jadi nilai positif PDI-P dalam pemilihan strateginya adalah mereka sepertinya mendapat berkah mempunyai kader-kader yang populer dimata publik. Jokowi, Risma, Ganjar Pranowo, Budiman Sudjatmiko, dan masih banyak lagi, membuat partai ini sepertinya akan terus menjadi kompetitor serius disetiap pemilihan umum yang akan datang.

Gerindra, disisi lain, adalah partai yang bisa disebut antitesis dari PDI-P. Pendirinya, Prabowo Subianto, sebagai menantu dari mantan Presiden Soeharto, sangat erat hubungannya dengan orde baru. Begitu juga dengan Fadli Zon, dan punggawa-punggawa partai lainnya. Apabila Hanura dan Nasdem dikategorikan sebagai Golkar 2.0 yang menekankan politik jual-beli dan aliansi dengan pihak yang tengah berkuasa, Gerindra dimata saya adalah pecahan Golkar yang berambisi ingin menghidupkan kembali Golkar 1.0, yang berarti politiknya menggurita. Agar sebuah Partai mampu mencapai target tersebut, tentu perlu aliran dana yang tidak kecil. Untungnya, partai ini mempunyai Prabowo Soebianto.

Disinilah kesamaan antara kedua partai ini dimulai. Dalam keduanya, terdapat dominasi begitu kuat dari pendiri partai dalam politik praktis, ditambah lagi dibanding partai-partai besar lainnya, keduanya saat ini punya kader-kader muda yang potensial. Bukan sesumbar namun saya bertaruh bahwa dalam beberapa tahun kedepan, kandidat-kandidat yang muncul sebagai calon pemimpin akan muncul dari kedua partai ini, dan partai-partai lain hanya akan menjadi cheerleaders.

Sayangnya, kesamaan kedua partai ini dalam menggantungkan strategi politiknya kepada sang pendiri sepertinya akan menentukan siapa yang akan muncul sebagai pemenang dimasa depan. Gerindra terlihat lebih dinamis daripada PDI-P, dan cenderung berani dalam mengeksekusi strategi yang sangat beresiko, seperti dalam Pilkada DKI. Pemecahan suara menggunakan Demokrat sebagai bemper, penyeretan Ahok dan mendekamnya sang Gubernur DKI di penjara saat ini adalah bukti begitu berambisinya Gerindra untuk mendominasi kancah politik Indonesia. Pendeknya, Gerindra berani membumi-hanguskan lawan-lawannya, sementara PDI-P masih senang bicara “mesin politik” dan frasa-frasa politik tradisional negeri ini, yang kedepannya akan sangat kecil maknanya.

Lalu, dimana peran Presiden kita saat ini, Jokowi, yang tentu saja adalah salah satu keajaiban terbesar dari “mesin politik” PDI-P? Jujur saja, saya tidak tahu. Kalau ada versi lelaki dari Megawati, yang cenderung keras kepala, maka Jokowi lah orangnya. Saya hanya takut dalam pertaruhan memutar balikkan koin di udara, Gerindra lah pemenangnya.

Membubarkan HTI, Membuka Kotak Pandora

Tidak bisa dipungkiri, kepanikan sepertinya tengah menyelimuti Istana. Keputusan pemerintahan Jokowi untuk membubarkan HTI, walau tepat secara teori, namun di praktek, justru akan membuka kotak Pandora baru.

Secara ideologi, apa yang dipercayai HTI memang destruktif dan perlahan mengikis Bhinneka Tunggal Ika. Keberadaan HTI adalah keberadaan kerajaan dalam republik, intitusi otonom yang akan tumbuh menjadi masalah serius apabila tidak dilemahkan.

Namun kenyataan bahwa HTI eksis selama ini, bahkan menyelenggarakan acara dengan skala besar di Jakarta, adalah kenyataan pragmatisme lembaga-lembaga intelijen di Indonesia. Organisasi yang “subversif”, dimasa lalu mungkin bisa digulung begitu saja, pemimpinnya diseret ke penjara dan elit-elitnya bergerak gerilya dibawah pengawasan gurita intelijen ABRI.

Tapi di era pasca reformasi, mereka punya hak berkumpul, dan beropini, selama pergerakannya tidak menjadi makar atau tindak kekerasan.

Lagipun, menginfiltrasi, memonitor dan mengontrol sebuah organisasi lebih mudah apabila organisasi itu adalah organisasi besar. Makin besar, maka makin lambat pergerakannya, makin besar birokrasinya, makin tidak fleksibel. Gerakannya predictable, karena untuk mengambil tindakan terburu-buru, beresiko mengorbankan integritas keseluruhan organisasi.

Namun sepertinya istana sudah gemas dengan pergerakan organisasi-organisasi ekstra-parlimenter ini, dan akhirnya memutuskan untuk membubarkannya. Bagaimana pembubarannya pun, masih simpang siur. Lewat pengadilan, atau bubar begitu saja lewat tekanan bersenjata, mereka harus bubar, begitu sepertinya sikap Istana.

Tapi pertanyaannya, organisasi sebesar HTI pasti punya banyak cabang-cabang, dengan elit-elitnya sendiri. Dengan bubarnya HTI, sayap-sayap dengan tingkat ekstremitas bervariasi akan memulai organisasinya sendiri. Sepertinya, pemerintahan Jokowi berencana menghadang organisasi hasil peleburan ini dengan UU ormas, yang sayangnya jelas akan dipermasalahkan di parlemen, karena HTI sekarang sudah bukan semata organisasi dengan kepercayaan yang menyimpang, tapi juga senjata politik yang cukup ampuh, terbukti saat Pilkada DKI.

Lalu secara jangka pendek, apakah membubarkan HTI langkah yang tepat? Tergantung. Organisasi sebesar HTI pasti punya mata dan “teman” dimana-mana, mungkin bahkan didalam institusi-institusi penting di pemerintahan. Dengan membubarkan HTI, Jokowi mungkin akan membuka selimut tempat mereka berteduh, dan maka musuh pun akan memperlihatkan dirinya. Dari situ, Jokowi bisa mengambil langkah lanjutan.

Tapi sekali lagi, membubarkan HTI juga membawa bahaya bagi pemerintahan Jokowi, terutama kalau Jokowi tidak punya kontrol yang kuat terhadap lini-lini penting institusi sosial dan militer. Polri dan Kejaksaan sepertinya berada dibawah kontrol, tapi MUI, TNI dan beberapa menterinya sendiri, kontrol Jokowi masih diragukan.

Untungnya, Vonis keras terhadap Ahok membeli waktu untuk Jokowi. Walau mungkin dirinya sendiri tidak setuju dengan vonis tersebut, lebih beratnya vonis Hakim terhadap Ahok juga berperan dalam mendinginkan unsur-unsur yang curiga Jokowi melindungi Ahok. Unsur-unsur ini unsur yang tidak 100% mengerti bahwa mereka tengah dimainkan sebagai pion politik, dan cenderung melihat apa yang tengah berlangsung sebagai perang suci. Kita lihat saja bagaimana bola bergerak, tapi dalam waktu dekat, sepertinya kita akan menyaksikan perubahan dalam pemerintahan Jokowi. Apakah itu reshuffle, atau penggantian murni, saya yakin tiga kementrian akan terlibat didalamnya: Pertahanan, Agama dan Sospol.

Terlalu Berbeda Untuk Bersatu

Saya jelas bukan pakar hukum, bukan juga pengamat dengan pengalaman mengajar hukum bertahun-tahun, dan mampu berbicara dalam struktur framework hukum yang telah ada.

Tapi hasil akhir dari pengadilan Ahok hari ini, jelas jauh dari keadilan, teori ataupun praktek, dimanapun kecuali di negara non-demokrasi.

Sebelum masuk ke ranah membela, mendukung atau sebaliknya, jujur saya tidak tertarik untuk membincangkannya. Ahok atau bukan Ahok, sudah saatnya pasal yang membuat dewi keadilan harus membuka kain yang menutupi matanya dan melihat siapa yang tengah ia adili, dibinasakan.

Bukan ranah manusia untuk mengadili emosi, karena manusia tidak sempurna. Kita diberikan perasaan untuk menjadi fleksibel, dan hukum tidak dibangun untuk sesuatu yang fleksibel. Hukum adalah satu-satunya pegangan manusia dalam peradaban modern untuk mencapai apa yang ia sebenarnya tidak bisa lakukan. Untuk jadi adil.

Terlepas dari warna kulit, agama, asal muasal, dan status dalam masyarakat, hukum dan penegaknya harus sadar terhadap biasnya tersendiri.

Itulah sebabnya dalam negara maju perkara-perkara yang bisa menimbulkan konflik, baik itu emosional maupun legal, haruslah dikesampingkan, demi kepentingan jangka panjang hukum itu sendiri.

Setelah saat pilkada DKI kemarin, seperti yang sudah saya sebutkan, beberapa golongan telah memelihara anak macan yang mereka tak sadar efek jangka panjangnya, kini pengadilan kita juga dinodai oleh mulai aktifnya kembali pasal yang seharusnya sudah mati semenjak kepergian roh orde baru.

Pasal penodaan agama, dan pencemaran nama baik.

Dua pasal ini mengubah pengadilan dari tempat terhormat dimana seseorang bisa mencari keadilan dari pengadilan massa, pengadilan emosi, menjadi pengadilan dimana emosi menjadi Tuhan di meja hijaunya.

Bagaimana lima orang hakim bisa memutuskan apakah sebuah agama yang dianut oleh ratusan juta orang telah ternodai oleh satu kalimat dari seorang manusia biasa? Bagaimana pula lima orang hakim yang menganut agama yang katanya ternodai itu bisa lepas dari biasnya?

Seorang yang meremehkan peran bias dalam peradilan bisa mengatakan, bahwa itulah tugas Hakim, untuk mengesampingkan bias. Tapi dari sudut pandang lain, apabila anak anda sendiri diperkosa oleh orang yang tengah anda adili, bisakah anda menjadi hakim yang adil?

Bahkan kalaupun bisa, darimana standar yang anda ambil. Hukum adalah sesuatu yang terukur, karena perannya yang mengadili berdasarkan barang bukti. Apabila seseorang tewas, maka terdapat jenazah, barang bukti senjata pembunuh, dan sang pembunuh itu sendiri. Apabila yang ternodai adalah harga diri, atau nama baik dari sebuah institusi agama beranggotakan ratusan juta orang, seberapa jauh anda bisa menilai bahwa nama baik itu sama harganya dengan hak kebebasan seorang manusia, sebelum pengadilan dilacurkan menjadi sekedar versi resmi dari pengadilan massa?

Sekarang sudah terlambat, tapi ditengah hiruk-pikuk ditahannya Ahok di Cipinang, saya yakin pikiran yang sama juga terngiang di belakang kepala orang-orang yang menggunakan isu ini untuk menyeret Ahok, karena mereka juga bukan orang yang bodoh. Mereka tahu efek jangka panjang dari aktifnya kembali pasal ini, dan rasa dendam yang akan muncul setelah ini. Tapi mereka tidak peduli, atau pura-pura tidak peduli. Sesungguhnya yang merugi adalah mereka, dan kita sendiri. Yang rugi adalah negara Indonesia. Hari ini untuk pertama kalinya sebuah pengadilan dengan resmi menyatakan bahwa kita tidak satu walaupun berbeda, kita adalah berbeda, walaupun satu. Dan mungkin, terlalu berbeda untuk bisa bersatu.

New York Times: China Kekuatan Kolonialis Baru

Salah satu aturan yang cukup umum diketahui banyak orang tentang penjudulan sebuah artikel adalah, apabila terdapat tanda tanya diakhir judul, maka biasanya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak.

Namun pada artikel New York Times yang berjudul, Is china The World’s New Colonial Power? ini, saya tidak sepenuhnya yakin jawabannya adalah tidak.

Terlepas dari judul yang cenderung sensasionalis, artikelnya sendiri sangat bagus, dan menceritakan dengan detail bagaimana China saat ini dan sudah bertahun lamanya masuk ke Afrika dan menyuntikkan investasi yang begitu besar.

Driven by economics (a hunger for resources and new markets) and politics (a longing for strategic allies), Chinese companies and workers have rushed into all parts of the world. In 2000, only five countries counted China as their largest trading partner; today, more than 100 countries do, from Australia to the United States. The drumbeat of proposed projects never stops: a military operating base, China’s first overseas, in Djibouti; an $8 billion high-speed railway through Nigeria; an almost-fantastical canal across Nicaragua expected to cost $50 billion. Even as China’s boom slows down, its most ambitious scheme is still ramping up: With the “One Belt, One Road” initiative — its name a reference to trade routes — President Xi Jinping has spoken of putting $1.6 trillion over the next decade into infrastructure and development throughout Asia, Africa and the Middle East. The scheme would dwarf the United States’ post-World War II Marshall Plan for Europe.

Jalan tol, rel kereta, sekolah, segala bentuk pertambangan, infrastruktur militer, dan sebagainya. Jumlah investasi China di Afrika menurut artikel yang sama saat ini sudah mencapai ratusan milyar dollar.

Masuknya investasi China di Afrika tentu saja diikuti dengan isunya sendiri, diantaranya adalah masuknya imigran China, puluhan bahkan ratusan ribu banyaknya, dan dominasi imigran tersebut didalam berbagai bidang, terutama perniagaan sipil.

Namun investasi sebesar itu tentu saja bisa sangat menguntungkan bagi negara-negara berkembang, apalagi di Afrika. China, masih menurut artikel yang sama, mensyaratkan stabilitas di negara-negara tempatnya berinvestasi, dan kontrol penuh, walau secara de facto. Karena itu, kestabilan, keamanan dan upaya untuk mendorong negara-negara Afrika agar tidak berperang, bukan lagi hanya kepentingan negara-negara tersebut, namun juga kepentingan China. Hal ini menyebabkan masuknya China ke Afrika bukan saja berupa investasi, namun juga pengaruh politikarena itu dalam jangka pendek dan menengah, negara-negara ini bisa lebih stabil.

Lalu apa hubungannya artikel ini dengan Indonesia? Well, walau tingkat investasi China di Indonesia cukup besar, tentu skalanya tidak sebesar di Afrika, dan jumlah imigrannya pun tidak sebanyak disana. Namun belum apa-apa, beberapa bulan yang lalu kita sudah melihat antipati dan rasa takut yang ditangkap oleh media di Indonesia melalui headline seperti “Ribuan pekerja China masuk ke Indonesia secara ilegal” dan sebagainya.

Dalam beberapa tahun kedepan, walau masuknya imigran dan pekerja China secara masif ke Indonesia masih sangat diragukan, menurut saya ada beberapa efek tidak langsung yang akan bisa dirasakan.

Pertama, dengan semakin menguatnya China, maka semakin terdengar juga gaung dan aksinya yang sedikit-sedikit menyenggol legitimasi dan kedaulatan Indonesia, maka kita akan mulai mendengar rasa antipati terhadap bukan saja negara China, namun juga orang ber-etnis China.

Saya pikir hal ini sudah harus mulai dipikirkan sejak sekarang, karena konflik horizontal biasanya tumbuh dalam keheningan, sampai meletus suatu keributan. Ribut-ribut pilkada DKI dan keberadaan Ahok masih membawa-bawa agama, dan tidak terlalu menyentuh etnis, namun kedepannya, sangat mugkin kebencian terhadap satu etnis tertentu akan dipakai sebagai amunisi politik. Mari berharap kebijaksanaan dari politisi kita, karena sudah mememlihara anak macan, mari kita tidak memelihara anak harimau juga.

Kedua, tingkat investasi dan gairah China untuk mewujudkan mimpi “One Belt, One Road”-nya, suatu saat, apabila pertumbuhan ekonominya tidak semakin melambat, akan sampai ke depan pintu Indonesia. Didalamnya ada janji investasi yang masif, dan harapan akan menyatukan Asia dibawah payung China.

Akan sangat mudah, bagi investasi-investasi ini masuk ke Indonesia tanpa pengawasan yang cukup, karena jumlahnya yang begitu besar, dan kultur lobi China yang cukup mirip dengan Indonesia, dimana etik tidak terlalu diperhatikan. Dampaknya adalah masuknya pengaruh China berupa uang dan dukungan ke figur-figur politisi di negeri ini, karena untuk mewujudkan mimpi tersebut, China perlu stabilitas dan keamanan untuk investasinya. Aliran dana ke tangan yang salah bisa mendorong gerakan reformasi negeri ini ke jalan yang salah juga.

Indonesia beruntung, disekeliling kita terdapat beberapa negara yang akan berfungsi sebagai semacam filtering element atau buffer bagi masuknya kepentingan China ke Indonesia. Terlepas dari dekatnya Singapore dengan China, misalnya, singapore tetap negara kecil yang perlu mempertimbangkan kepentingan Filipina, Thailand dan Malaysia, yang ketiganya saat ini hubungannya kurang begitu baik dengan China karena kasus laut China selatan.

Lalu kembali ke artikel New York Times dengan judul bertanda tanya itu, apakah jawabannya tidak? Rasanya memang terlalu berlebihan melabeli masuknya China ke Afrika sebagai bentuk kolonialisme. Neo-kolonialisme berupa “penjajahan” ekonomi mungkin, tapi rasanya semua orang yang belajar tentang sejarah kolonialisme Eropa bisa tahu bahwa yang dilakukan China sekarang ini bukan apa-apa.

Dimasa depan? Siapa tahu. Tapi menarik juga membayangkan apabila China menjadi negara yang egosentris seperti negara-negara Eropa di era kolonialis, maka berarti bukan cuma orang barat saja yang bisa jadi penjajah, orang timur pun bisa. Yang diperlukan hanya kekuatan tanpa penanding nyata.

Anak Macan dan Munculnya Faksi Agamis Sebagai “Alt-Right” Politik Indonesia

Beberapa hari ini media diramaikan oleh beberapa topik, yang sendirinya bisa jadi puluhan artikel opini. Bunga untuk Ahok di Balai Kota DKI, dibakarnya bunga tersebut saat demo buruh, tuduhan pencitraan, demo 5 mei, dan sebagainya. Beruntunglah para kolumnis media dan “pakar” yang diundang ke TV, gejolak politik di negeri ini sepertinya tidak kunjung tenang.

Apalagi pasca pilkada DKI, perlahan muncul dua faksi politik yang untuk sementara masih mengekor dan berlindung dibawah parpol, yaitu faksi Militer, dan yang saya sebut sebagai Agamis.

Faksi militer, sepertinya muncul dan dilatarbelakangi oleh jenderal-jenderal purnawirawan yang entah tidak senang dengan kebijakan Jokowi, atau merasa terganggu dengan perubahan-perubahan yang tengah terjadi.

Faksi agamis, adalah “anak macan” yang dipiara bertahun-tahun, dan selama ini kelihatannya dipakai oleh intelijen negara untuk kegiatan-kegiatan yang mereka tidak ingin terlibat langsung didalamnya.

Saat saya menggunakan kata “agamis”, perlu diperhatikan bahwa saya tidak menuduh semua orang yang religius atau percaya bahwa Agama bisa memainkan peran dalam politik praktis didalamnya. Yang saya maksud adalah mereka yang membawa kepercayaan ini ke tingkat yang cukup dalam dan jauh.

Cukup jauh sampai-sampai ingin membubarkan NKRI.

Dari pelupuk mata, kedua faksi ini terlihat berlawanan. Militer, biasanya ingin negara utuh dan bersatu, dan kepentingan utamanya adalah “keamanan” negara, apapun cara mencapainya. Mereka percaya bahwa ideologi hanyalah praktis sepanjang ia berguna untuk mencapai tujuan dari misi, yaitu keamanan negara tadi. Huru-hara politik adalah noise yang faksi militer biasanya tidak suka.

Sementara faksi agamis (sekali lagi penggunaan kata “agamis” disini kontekstual), cenderung melihat ideologi sebagai tujuan akhir, sementara cara untuk mencapainya fleksibel.

Yang berbahaya disini adalah, pusaran huru-hara pilkada dan pasca Pilkada DKI mendorong kedua faksi ini ketengah-tengah dan secara tidak langsung menyatukan goal mereka, setidaknya sejauh yang saya lihat. Lebih buruknya lagi, penyatuan agenda dari kedua faksi dengan DNA yang berlawanan ini terlihat terorganisir dan teragenda. Sepertinya ada aktor dibelakangnya.

Siapa aktornya, saya tidak tahu, dan jujur, tidak menarik untuk dibincangkan.

Mengapa tidak menarik, karena saya melihat akselerasi pertumbuhan kedua faksi ini yang harusnya melambat pasca pilkada, justru semakin cepat. Keberhasilan organisasi demonstrasi besar-besaran melawan Ahok, yang dimata saya terlihat tidak organik, sepertinya menumbuhkan harapan baru tentang kekuatan faksi agamis tadi.

Sehingga walau awalnya gerakan ini tidak organik, dan cenderung diorganisir dan dibekingi oleh sebuah aktor, bisa saja justru berkembang menjadi gerakan baru.

Alt Right di Indonesia

Di Amerika Serikat, pasca kemenangan Donald Trump, muncul sebutan baru untuk pendukung Trump yang cenderung sangat unik karakteristiknya, karena gerakannya yang bisa dibilang hanya bisa tumbuh dan muncul di era internet dan kecepatan penyebaran informasi. Alt Right.

Pertumbuhan gerakan ini cenderung organik, namun dibelakangnya juga terdapat aktor-aktor yang berkepentingan. Salah satunya adalah Steve Bannon, mantan Editor In Chief Breitbart yang kini menjadi Secretary of Staff dari Donald Trump sendiri.

Terlepas dari sejarah berdirinya Alt-Right, satu hal yang menarik dari sebutan itu sendiri adalah penggunaan kata “Right” didalamnya. Right, di Amerika Serikat biasanya bermakna golongan pendukung politik konservatif, dan memilih partai Republik. Alt, yang berarti alternatif, bermakna bahwa mereka adalah golongan pendukung politik konservatif, namun mereka belum tentu memilih Republik. Mereka adalah golongan baru, yang muncul dari abu kematian gerakan pendukung politik “Right” yang lama.

Di Indonesia, gerakan baru dari faksi agamis ini belum mempunyai sebutannya sendiri, namun karakteristik dari gerakannya sendiri cukup mirip dengan Alt-Right, dimana ia menandai matinya gerakan politik berbasis agama yang fondasi, struktur dan pengotak-kotakannya sebenarnya didirikan dan diberdirikan oleh orde baru. PPP, NU dan PKB, Muhammadiyah dan PAN. Mereka adalah punggawa-punggawa politik Agamis yang seharusnya memainkan peran penting selama Pilkada DKI.

Namun kenyataannya tidak. Mereka yang mengikuti gerakan faksi agamis baru ini tidak jelas memilih partai apa. Yang jelas mereka agamis. Haluannya reaktif, emosional, dan tanpa struktur organisasi. Itulah sebabnya muncul nama-nama yang dituduh sebagai aktor intelijen dibelakangnya. SBY, Prabowo dan lain sebagainya.

Keterlibatan mereka mungkin saja benar, namun mungkin juga salah. Tapi siapapun aktornya, mereka harus sadar bahwa mereka tengah membesarkan anak macan, yang dalam kurun waktu pendek bisa saja menerkam pemiliknya. Rencana demonstrasi hari ini, 5 Mei 2017, adalah bukti tidak melambatnya arus gerakan ini. Dan apapun yang terjadi, Jokowi harus segera mengambil tindakan.

Helikopter Anies dan Donald Trump

Humor adalah bagian penting dari coping mechanism seorang manusia, terutama bagi mereka yang tengah dirundung depresi. Laugh or Cry, kata orang barat, dan begitulah yang terjadi pasca kemenangan (mengejutkan?) Anies Baswedan di Pilkada DKI.

Mendadak, foto Anies yang naik helikopter untuk berjumpa dengan Ahok di Balai Kota jadi buah bibir, dan seperti kebanyakan lelucon, ada semacam kernel of truth didalamnya.

Bukan rahasia kalau tiket kampanye Anies-Sandi adalah tiket yang berbau uang, bukan saja karena Sandiaga Uno adalah salah satu orang terkaya di Indonesia, tapi juga backingan Harry Tanoe, Prabowo dan figur-figur konglomerasi politik yang berada dibelakangnya.

Jadi bukan karena sembarang alasan kebanyakan anak muda yang (mungkin) mendukung Ahok senang dengan keberadaan foto Anies naik helikopter. Hanya berselang beberapa saat setelah menang, image yang dikultivasi Anies selama kampanye bahwa ia seorang kandidat yang merakyat, dengan berkeliling naik vespa, dan sebagainya, hilang begitu saja karena helikopter pinjaman.

Lalu apa hubungannya Anies dan Donald Trump? Mungkin tidak langsung, tapi sulit bagi saya untuk tidak melihat paralel Helikopter Anies dan masalah yang ramai dibicarakan oleh warga AS, tentang istri Presiden AS Melania yang kabarnya tidak mau tinggal di gedung putih, dan ingin kembali tinggal di apartemen mewah Trump Tower di New York.

Masalahnya, seorang Presiden Amerika Serikat dan seorang biliuner tentu saja memiliki syarat level keamanan yang berbeda, sehingga minat Melania untuk kembali tinggal di New York akan menggelembungkan biaya keamanan dan tenaga dari paspampres di AS. Topik ini tentu saja dilahap oleh media liberal di AS yang cenderung anti Trump.

Begitu yang terjadi di kasus Anies. Jujur saja, saya melihat ini bukan masalah besar, karena sedikit dalam hati saya masih percaya bahwa Anies orang baik. Tapi saat ini, dan selama kampanye, Anies dikelilingi oleh orang-orang super kaya yang tidak melihat keanehan atau diskrepansi antara seorang pelayan publik dan helikopter pribadi.

Apakah Anies akan terbawa-bawa Sandiaga dan beking-an nya setelah menjadi gubernur, saya tidak tahu, tapi saya harap Anies bisa punya semacam spider-sense atau kepekaan yang lebih dalam menilai mana yang pantas mana yang tidak, karena Ahok meninggalkan tapak kaki yang besar untuk ia pijak dan ikuti kedepannya.

Allan Nairn & Kudeta

Pasca kekalahan Ahok di putaran kedua Pilkada DKI, sebuah artikel sepertinya sukses menjadi semacam penyejuk hati untuk pendukung Ahok. Allan Nairn, jurnalis investigasi yang namanya masih punya gaung di negeri ini, terutama bagi orang-orang yang ingat kiprah dirinya dijaman pemerintahan Soeharto, merilis hasil investigasinya di hari yang sama dengan pengumuman hasil pilkada DKI.

“TRUMP’S INDONESIAN ALLIES IN BED WITH ISIS-BACKED MILITIA SEEKING TO OUST ELECTED PRESIDENT”

Allan Nairn, The Intercept

Artikel yang sayangnya mempunyai judul ultra-bombastis dan berisi kaitan yang terlalu jauh dan tanpa bukti ini, secara langsung, berdasarkan laporan intelijen yang bocor ketangan Nairn dan wawancara eksklusif dengan Kivlan Zein, menyatakan bahwa tengah ada plot untuk mengkudeta Jokowi dari kursi kepresidenan, dengan menggunakan kasus penistaan agama Ahok sebagai pintu masuk. Alasan kudeta ini karena terdapat beberapa golongan yang tidak menyukai usaha Jokowi membuat simposium dan membuka kembali kasus pembantaian orang yang dituduh anggota PKI pada 1965.

Artikel ini dipublikasikan di The Intercept, media yang salah satu editornya adalah Glenn Greenwald, jurnalis yang terkenal karena laporannya tentang Snowden. Dari sini saja bisa disimpulkan bahwa artikel ini bukanlah artikel omong kosong, dan reputasinya bisa dipertaruhkan. Dengan kata lain, investigasi ini terlepas dari kelemahan yang ada didalamnya, bukanlah hoax, atau fake news.

Namun TNI, beberapa hari setelah artikel ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Tirto (media yang saya baru dengar juga eksistensinya), sepertinya dirundung kepanikan. Respon pertama dari Kapuspen TNI Mayjend Wuryanto sepertinya menandakan hal tersebut.

Terhadap apa namanya, itu kok bisa dipublikasikan hal-hal yang sensitif seperti itu.

Mayjend Wuryanto, Kapuspen TNI

Respon TNI yang sepertinya dikejutkan dengan munculnya artikel Allan Nairn sebenarnya cenderung membingungkan. Apabila dinilai berdasarkan data dan fakta yang ada, artikel Allan Nairn sesungguhnya tidak memberitakan banyak hal yang baru, namun hanya mengkonfirmasikan rumor-rumor yang sudah beredar.

Satu-satunya hal menarik yang ada didalam artikel tersebut adalah wawancara eksklusif dengan Kivlan Zein, yang motifnya sangat perlu dipertanyakan. Ada apa sehingga purnawirawan jendral sekelas Kivlan Zein mau menumpahkan begitu banyak informasi pada Allan Nairn, yang nota bene merupakan musuh bebuyutan salah satu teman paling dekat dari Kivlan Zein sendiri, yaitu Prabowo?

Kehadiran Kivlan ditengah-tengah artikel yang menumpahkan begitu banyak tuduhan kepada begitu banyak figur elit; Prabowo, SBY, Fadli Zon, dan banyak figur politik dan sosial lainnya, adalah afirmasi secara tak langsung dari Kivlan tentang kebenaran dari artikel tersebut.

Apakah Kivlan sakit hati, karena ia satu-satunya figur purnawirawan yang namanya terseret dalam kasus makar, dan sampai disebut-sebut ditangkap tangan merencanakan kudeta oleh Polri? Apakah ini caranya menyeret nama-nama besar lain kedalam kasus makar yang belum jelas arahnya, namun bisa panjang dampaknya, terutama setelah munculnya artikel ini.

Belum lagi orang-orang yang disebut terlibat atau secara tak langsung “menyetujui” tindak tanduk gerakan yang ingin menjatuhkan jokowi, termasuk menteri sekelas Hendropriyono, dan Wiranto.

Sekarang, respon orang-orang yang disebut namanya dalam artikel ini akan menentukan seberapa jauh kebenaran dari tuduhan kudeta tersebut. Wiranto, Hendropriyono, bahkan mungkin Prabowo, harus segera membawa Kivlan ke meja hukum, paling tidak atas pencemaran nama baik. Namun kalau yang terjadi justru adalah bentuk lain dari shooting the messenger, yaitu penuntutan dan penghancuran nama baik dan reputasi The Intercept dan Tirto, rasanya Jokowi harus siap-siap mengencangkan kerahnya. Mungkin tuduhan kudeta ini ada benarnya.

Ahok Lupa Siapa Ahok Sebenarnya

In order for Apple to Survive, Apple needs to remember what Apple really was

(Agar Apple bisa selamat, Apple harus ingat apa sebenarnya Apple itu)

– Steve Jobs

Itulah kutipan dari CEO dan pendiri Apple yang terngiang di benak saya saat menyaksikan hasil pilkada DKI Jakarta Putaran kedua kemarin. Steve Jobs, CEO Legendaris yang bersama sahabatnya Steve Wozniak mendirikan Apple dan memulai revolusi komputer pribadi pada pertengahan dekade 70-an, mengeluarkan pernyataan tersebut saat ia ditanya oleh Walt Mossberg, seorang wartawan teknologi senior, tentang bagaimana ia bisa menyelamatkan Apple dari jurang kebangkrutan ditengah dekade 90an, saat ia kembali dipilih menjadi CEO Apple setelah sebelumnya ditendang dari perusahaan yang ia dirikan sendiri. Apple, yang saat itu  sudah dinyatakan “tamat” oleh berbagai pakar dan pengamat industri, ternyata bisa kembali lagi dan malah menjadi perusahaan yang memimpin tren dan inovasi di industri dibawah kepemimpinan Steve Jobs, sebelum ia akhirnya meninggal dunia di 2011.

Pendapat Jobs, bahwa Apple gagal karena perusahaan ini sudah lupa akan identitasnya, adalah pendapat yang sangat relevan dengan kekalahan Ahok, yang pada September tahun lalu mempunyai tingkat popularitas yang begitu tinggi sampai-sampai partai-partai oposisi kebingungan mencari kandidat untuk melawannya. Beberapa, termasuk saya malah sudah sesumbar mengatakan bahwa periode kedua kursi gubernur dipegang oleh Ahok adalah suatu keniscayaan.

Tapi tidak. Walau saya pendukung Ahok, ucapan selamat, dan topi saya angkat untuk keberanian dan ketajaman strategi dari kubu oposisi terhadap Ahok. Mereka telah berhasil menjalankan strategi politik yang menurut saya bisa dicairkan menjadi satu kalimat misi: Buat Rakyat DKI, dan Ahok sendiri, lupa siapa Ahok sebenarnya.

Apa maksud saya, dengan kalimat tersebut? Cukup simpel. Apabila anda berjalan ke pinggiran kota Jakarta, atau bertanya pada orang yang tidak begitu sadar akan politik, pertengahan tahun lalu, siapa Ahok, dan bagaimana mereka mengkarakterisasikan Ahok, mungkin anda akan mendengar kata-kata berikut: tegas, kerjanya cepat. Ceplas-ceplos. Berani. Tapi agak kasar.

Apabila anda berjalan dan menanyakan hal yang sama pada bulan lalu, kata-kata yang keluar akan lain. Kasus penistaan agama telah mempengaruhi opini masyarakat tentang Ahok, tentu, tapi menurut saya bukan ini saja faktor yang bermain dalam enam bulan terakhir.

Berikut strategi oposisi Ahok yang dijalankan selama enam bulan terakhir, dalam pandangan saya. Pertama, dan prioritas utama, adalah tidak ada yang bisa memungkiri bahwa tingkat popularitas Ahok terlalu tinggi. Strategi apapun akan gagal melawan tingkat popularitas diatas 60 persen, disemua pemilu diseluruh dunia. Karena itu mereka perlu dua hal. Pertama, mereka perlu waktu. Dua, seorang figur yang bisa paling tidak mengikis dan mengambil alih kira-kira 10 persen popularitas Ahok, dengan harapan bahwa Ahok tidak bisa mencapai angka ajaib 51%.

Dua misi ini tercapai dengan satu kandidat kuda Trojan, yaitu Agus. Kandidat yang kurang lebih hanya berfungsi sebagai mata uang yang membeli waktu bagi kubu oposisi. Saat saya mendengar kabar bahwa oposisi Ahok pecah menjadi dua, dan salah satu kandidatnya adalah anak dari mantan presiden SBY, saya sudah yakin bahwa diluar dari memecah suara pendukung Ahok dan membeli waktu, Agus juga berguna sebagai alat pengukur kemungkinan menang mereka melawan Ahok di putaran kedua. 10% adalah angka yang saya pikir ideal untuk Agus dapatkan. Apabila tingkat popularitas Ahok saat itu 60%, maka mari kita asumsikan 40% tidak akan memilih ahok. Dengan 10% suara dari Agus, maka hasilnya untuk putaran kedua adalah 50-50. Mereka punya kesempatan.

Namun kita tahu apa yang terjadi. Agus mendapatkan 17% suara, dan saat itulah saya berpendapat bahwa Ahok, apabila kondisinya tidak berubah, sebenarnya sudah tamat.

Namun Ahok, bahkan dengan kondisi elektabilitas yang terkikis tajam dengan kehadiran Agus, masih bisa menang, apabila strategi yang dijalankan tepat. Strategi seorang kandidat dalam sebuah pemilu, menurut pendapat saya haruslah dibuat dan dirancang mengikuti karakter kandidat, dan bukan sebaliknya. Begitulah caranya Donald Trump, seseorang yang telah diolok-olok selama bertahun-tahun, bisa berhasil mengalahkan seorang operator politik senior dengan jaringan dan mesin yang menggurita seperti Hillary Clinton. Bahkan saat semua orang disekeliling Trump menyatakan dirinya menginjak kakinya sendiri dengan kalimat-kalimat yang tidak populer, rasis dan sebagainya, ia bisa menang, karena Trump, ingat siapa Trump sebenarnya. Tidak ada dusta diantara dirinya dan calon pemilihnya. Anda memilih Trump karena anda tahu apa yang anda pilih.

Tidak begitu dengan Ahok di Pilkada kali ini. Derasnya aliran kebencian dan arus masa yang ikut dalam demonstrasi-demonstrasi anti Ahok, sepertinya telah berhasil menanamkan rasa takut di elite-elite politik pendukung Ahok. Mereka telah terbawa dalam permainan strategi oposisi Ahok, yang misinya adalah menjadikan isu Ahok lebih dari isu DKI, tapi isu Nasional. Tiba-tiba, membela Ahok dan membebaskannya bicara dengan gayanya yang sebenarnya, ceplas-ceplos, berani dan lugas, sama saja dengan mengancam kesatuan NKRI. Ahok harus diatur, harus dibungkam.

Tiba-tiba, muncul seorang kandidat, terutama pada putaran satu ke putaran kedua kemarin, yang seakan masuk ke tubuh Ahok, namun ia jelas bukanlah Ahok. Ahok 2.0, saya menyebutnya. Kalau Ahok 1.0 berani menyatakan seseorang sebagai maling, Ahok 2.0 akan senyum dan bercanda, dan tidak lagi menunjuk langsung muka orang yang menurutnya bertanggung jawab. Kekalahan Ahok adalah nyata apabila calon pemilih mulai lupa bahwa ketegasan dan keberanian adalah karakteristik yang unik bagi Ahok, ditengah kepalsuan dan kebohongan politik di negeri ini. Itulah yang kita saksikan dengan perubahan karakter bicara Anies yang tadinya lemah lembut menjadi tegas dan berani. Tim Anies melihat penurunan agresifitas ahok dalam berbicara dan menilainya sebagai titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Anies. Perlahan, tingkat popularitas Ahok yang begitu tinggi, yang lalu terkikis oleh kehadiran Agus, kini semakin menukik tajam karena ketidakjelasan dari brand Ahok sendiri.

Mari kita buat lebih simpel. Bayangkan anda membeli sebotol kecap. Anda membeli kecap ini karena tiga alasan: pertama, kecap ini kecap nomor satu, menurut label di botolnya. Kedua, kecap ini yang paling manis, ketiga, kecap ini yang paling murah. Di pasaran, kecap ini punya market share nomor 1.

Lalu muncul kompetisi baru. Bayangkan anda tetap ingin mengkonsumsi kecap yang sebelumnya anda sukai. Tapi perlahan kecap ini, tanpa dorongan dari siapapun, mengubah dirinya sendiri. Tiba-tiba, dilabelnya tidak ada lagi label bahwa ia kecap nomor satu, karena ia takut dituntut ke pengadilan. Rasa manisnya berkurang, dan ketiga, kecap yang baru muncul ternyata lebih murah.

Apakah anda tetap memilih kecap yang anda sukai sebelumnya?

Saat seorang kandidat lupa mengapa pemilih mencintai dan memilihnya, saat itu juga ia berubah dari seorang kandidat menjadi semata politisi. Seorang yang reaktif, yang membiarkan strategi lawan mengatur tempo strateginya sendiri, dan membiarkan bola selamanya berada dikaki lawannya.

Namun kekalahan Ahok bukan hanya salah dirinya sendiri.

Secara tidak langsung, kubu oposisi Ahok dengan membawa isu penistaan agama yang sebenarnya tidak relevan dengan performanya sebagai gubernur, telah berhasil mencapai satu titik kritikal yang sangat fatal bagi semua kampanye politik: mereka berhasil menyandera bukan saja tim kampanye Ahok, tapi juga Jokowi, dan pemerintah pusat. Perhatikan kalimat-kalimat yang disuarakan oleh elite-elite pendukung Anies. Bahwa Ahok adalah ancaman bagi kesatuan NKRI. Kalimat yang terus disuarakan ke media ini ternyata tertanam ke tim Ahok sendiri, karena bahkan ketua umum PDIP Megawati pun mengatakan bahwa Ahok sebaiknya jangan banyak bicara. Bicara, dan mulut Ahok, bukan hanya tindakannya, justru adalah salah satu nilai jual utama Ahok sebagai seorang politisi. Itulah aset utama dari brand politik Basuki Tjahja Purnama.

Kealpaan salah satu nilai jual yang harusnya didorong ke permukaan oleh tim kampanye Ahok adalah kesalahan yang didorong oleh ketakutan psikologis orang-orang disekeliling Ahok akan arus balik oposisi terhadap dirinya. Sementara kandidat yang mereka tengah kampanyekan justru adalah seorang yang berani; seorang fighter. Tidak masuk akal. Dan hasilnya bisa disaksikan sendiri.

Kembali ke kutipan Steve Jobs tentang Apple, sayangnya tidak ada figur Steve Jobs yang bisa mengingatkan Apple siapa mereka sebenarnya. Tidak ada kisah comeback dengan ending yang bahagia, yang kita saksikan hanyalah kebangkrutan dari brand politik Basuki Tjahja Purnama, sebuah kebangkrutan yang bisa dicegah sebenarnya, kalau saja Ahok ingat siapa Ahok sebenarnya.