Beberapa hari ini media diramaikan oleh beberapa topik, yang sendirinya bisa jadi puluhan artikel opini. Bunga untuk Ahok di Balai Kota DKI, dibakarnya bunga tersebut saat demo buruh, tuduhan pencitraan, demo 5 mei, dan sebagainya. Beruntunglah para kolumnis media dan “pakar” yang diundang ke TV, gejolak politik di negeri ini sepertinya tidak kunjung tenang.
Apalagi pasca pilkada DKI, perlahan muncul dua faksi politik yang untuk sementara masih mengekor dan berlindung dibawah parpol, yaitu faksi Militer, dan yang saya sebut sebagai Agamis.
Faksi militer, sepertinya muncul dan dilatarbelakangi oleh jenderal-jenderal purnawirawan yang entah tidak senang dengan kebijakan Jokowi, atau merasa terganggu dengan perubahan-perubahan yang tengah terjadi.
Faksi agamis, adalah “anak macan” yang dipiara bertahun-tahun, dan selama ini kelihatannya dipakai oleh intelijen negara untuk kegiatan-kegiatan yang mereka tidak ingin terlibat langsung didalamnya.
Saat saya menggunakan kata “agamis”, perlu diperhatikan bahwa saya tidak menuduh semua orang yang religius atau percaya bahwa Agama bisa memainkan peran dalam politik praktis didalamnya. Yang saya maksud adalah mereka yang membawa kepercayaan ini ke tingkat yang cukup dalam dan jauh.
Cukup jauh sampai-sampai ingin membubarkan NKRI.
Dari pelupuk mata, kedua faksi ini terlihat berlawanan. Militer, biasanya ingin negara utuh dan bersatu, dan kepentingan utamanya adalah “keamanan” negara, apapun cara mencapainya. Mereka percaya bahwa ideologi hanyalah praktis sepanjang ia berguna untuk mencapai tujuan dari misi, yaitu keamanan negara tadi. Huru-hara politik adalah noise yang faksi militer biasanya tidak suka.
Sementara faksi agamis (sekali lagi penggunaan kata “agamis” disini kontekstual), cenderung melihat ideologi sebagai tujuan akhir, sementara cara untuk mencapainya fleksibel.
Yang berbahaya disini adalah, pusaran huru-hara pilkada dan pasca Pilkada DKI mendorong kedua faksi ini ketengah-tengah dan secara tidak langsung menyatukan goal mereka, setidaknya sejauh yang saya lihat. Lebih buruknya lagi, penyatuan agenda dari kedua faksi dengan DNA yang berlawanan ini terlihat terorganisir dan teragenda. Sepertinya ada aktor dibelakangnya.
Siapa aktornya, saya tidak tahu, dan jujur, tidak menarik untuk dibincangkan.
Mengapa tidak menarik, karena saya melihat akselerasi pertumbuhan kedua faksi ini yang harusnya melambat pasca pilkada, justru semakin cepat. Keberhasilan organisasi demonstrasi besar-besaran melawan Ahok, yang dimata saya terlihat tidak organik, sepertinya menumbuhkan harapan baru tentang kekuatan faksi agamis tadi.
Sehingga walau awalnya gerakan ini tidak organik, dan cenderung diorganisir dan dibekingi oleh sebuah aktor, bisa saja justru berkembang menjadi gerakan baru.
Alt Right di Indonesia
Di Amerika Serikat, pasca kemenangan Donald Trump, muncul sebutan baru untuk pendukung Trump yang cenderung sangat unik karakteristiknya, karena gerakannya yang bisa dibilang hanya bisa tumbuh dan muncul di era internet dan kecepatan penyebaran informasi. Alt Right.
Pertumbuhan gerakan ini cenderung organik, namun dibelakangnya juga terdapat aktor-aktor yang berkepentingan. Salah satunya adalah Steve Bannon, mantan Editor In Chief Breitbart yang kini menjadi Secretary of Staff dari Donald Trump sendiri.
Terlepas dari sejarah berdirinya Alt-Right, satu hal yang menarik dari sebutan itu sendiri adalah penggunaan kata “Right” didalamnya. Right, di Amerika Serikat biasanya bermakna golongan pendukung politik konservatif, dan memilih partai Republik. Alt, yang berarti alternatif, bermakna bahwa mereka adalah golongan pendukung politik konservatif, namun mereka belum tentu memilih Republik. Mereka adalah golongan baru, yang muncul dari abu kematian gerakan pendukung politik “Right” yang lama.
Di Indonesia, gerakan baru dari faksi agamis ini belum mempunyai sebutannya sendiri, namun karakteristik dari gerakannya sendiri cukup mirip dengan Alt-Right, dimana ia menandai matinya gerakan politik berbasis agama yang fondasi, struktur dan pengotak-kotakannya sebenarnya didirikan dan diberdirikan oleh orde baru. PPP, NU dan PKB, Muhammadiyah dan PAN. Mereka adalah punggawa-punggawa politik Agamis yang seharusnya memainkan peran penting selama Pilkada DKI.
Namun kenyataannya tidak. Mereka yang mengikuti gerakan faksi agamis baru ini tidak jelas memilih partai apa. Yang jelas mereka agamis. Haluannya reaktif, emosional, dan tanpa struktur organisasi. Itulah sebabnya muncul nama-nama yang dituduh sebagai aktor intelijen dibelakangnya. SBY, Prabowo dan lain sebagainya.
Keterlibatan mereka mungkin saja benar, namun mungkin juga salah. Tapi siapapun aktornya, mereka harus sadar bahwa mereka tengah membesarkan anak macan, yang dalam kurun waktu pendek bisa saja menerkam pemiliknya. Rencana demonstrasi hari ini, 5 Mei 2017, adalah bukti tidak melambatnya arus gerakan ini. Dan apapun yang terjadi, Jokowi harus segera mengambil tindakan.