In order for Apple to Survive, Apple needs to remember what Apple really was
(Agar Apple bisa selamat, Apple harus ingat apa sebenarnya Apple itu)
– Steve Jobs
Itulah kutipan dari CEO dan pendiri Apple yang terngiang di benak saya saat menyaksikan hasil pilkada DKI Jakarta Putaran kedua kemarin. Steve Jobs, CEO Legendaris yang bersama sahabatnya Steve Wozniak mendirikan Apple dan memulai revolusi komputer pribadi pada pertengahan dekade 70-an, mengeluarkan pernyataan tersebut saat ia ditanya oleh Walt Mossberg, seorang wartawan teknologi senior, tentang bagaimana ia bisa menyelamatkan Apple dari jurang kebangkrutan ditengah dekade 90an, saat ia kembali dipilih menjadi CEO Apple setelah sebelumnya ditendang dari perusahaan yang ia dirikan sendiri. Apple, yang saat itu sudah dinyatakan “tamat” oleh berbagai pakar dan pengamat industri, ternyata bisa kembali lagi dan malah menjadi perusahaan yang memimpin tren dan inovasi di industri dibawah kepemimpinan Steve Jobs, sebelum ia akhirnya meninggal dunia di 2011.
Pendapat Jobs, bahwa Apple gagal karena perusahaan ini sudah lupa akan identitasnya, adalah pendapat yang sangat relevan dengan kekalahan Ahok, yang pada September tahun lalu mempunyai tingkat popularitas yang begitu tinggi sampai-sampai partai-partai oposisi kebingungan mencari kandidat untuk melawannya. Beberapa, termasuk saya malah sudah sesumbar mengatakan bahwa periode kedua kursi gubernur dipegang oleh Ahok adalah suatu keniscayaan.
Tapi tidak. Walau saya pendukung Ahok, ucapan selamat, dan topi saya angkat untuk keberanian dan ketajaman strategi dari kubu oposisi terhadap Ahok. Mereka telah berhasil menjalankan strategi politik yang menurut saya bisa dicairkan menjadi satu kalimat misi: Buat Rakyat DKI, dan Ahok sendiri, lupa siapa Ahok sebenarnya.
Apa maksud saya, dengan kalimat tersebut? Cukup simpel. Apabila anda berjalan ke pinggiran kota Jakarta, atau bertanya pada orang yang tidak begitu sadar akan politik, pertengahan tahun lalu, siapa Ahok, dan bagaimana mereka mengkarakterisasikan Ahok, mungkin anda akan mendengar kata-kata berikut: tegas, kerjanya cepat. Ceplas-ceplos. Berani. Tapi agak kasar.
Apabila anda berjalan dan menanyakan hal yang sama pada bulan lalu, kata-kata yang keluar akan lain. Kasus penistaan agama telah mempengaruhi opini masyarakat tentang Ahok, tentu, tapi menurut saya bukan ini saja faktor yang bermain dalam enam bulan terakhir.
Berikut strategi oposisi Ahok yang dijalankan selama enam bulan terakhir, dalam pandangan saya. Pertama, dan prioritas utama, adalah tidak ada yang bisa memungkiri bahwa tingkat popularitas Ahok terlalu tinggi. Strategi apapun akan gagal melawan tingkat popularitas diatas 60 persen, disemua pemilu diseluruh dunia. Karena itu mereka perlu dua hal. Pertama, mereka perlu waktu. Dua, seorang figur yang bisa paling tidak mengikis dan mengambil alih kira-kira 10 persen popularitas Ahok, dengan harapan bahwa Ahok tidak bisa mencapai angka ajaib 51%.
Dua misi ini tercapai dengan satu kandidat kuda Trojan, yaitu Agus. Kandidat yang kurang lebih hanya berfungsi sebagai mata uang yang membeli waktu bagi kubu oposisi. Saat saya mendengar kabar bahwa oposisi Ahok pecah menjadi dua, dan salah satu kandidatnya adalah anak dari mantan presiden SBY, saya sudah yakin bahwa diluar dari memecah suara pendukung Ahok dan membeli waktu, Agus juga berguna sebagai alat pengukur kemungkinan menang mereka melawan Ahok di putaran kedua. 10% adalah angka yang saya pikir ideal untuk Agus dapatkan. Apabila tingkat popularitas Ahok saat itu 60%, maka mari kita asumsikan 40% tidak akan memilih ahok. Dengan 10% suara dari Agus, maka hasilnya untuk putaran kedua adalah 50-50. Mereka punya kesempatan.
Namun kita tahu apa yang terjadi. Agus mendapatkan 17% suara, dan saat itulah saya berpendapat bahwa Ahok, apabila kondisinya tidak berubah, sebenarnya sudah tamat.
Namun Ahok, bahkan dengan kondisi elektabilitas yang terkikis tajam dengan kehadiran Agus, masih bisa menang, apabila strategi yang dijalankan tepat. Strategi seorang kandidat dalam sebuah pemilu, menurut pendapat saya haruslah dibuat dan dirancang mengikuti karakter kandidat, dan bukan sebaliknya. Begitulah caranya Donald Trump, seseorang yang telah diolok-olok selama bertahun-tahun, bisa berhasil mengalahkan seorang operator politik senior dengan jaringan dan mesin yang menggurita seperti Hillary Clinton. Bahkan saat semua orang disekeliling Trump menyatakan dirinya menginjak kakinya sendiri dengan kalimat-kalimat yang tidak populer, rasis dan sebagainya, ia bisa menang, karena Trump, ingat siapa Trump sebenarnya. Tidak ada dusta diantara dirinya dan calon pemilihnya. Anda memilih Trump karena anda tahu apa yang anda pilih.
Tidak begitu dengan Ahok di Pilkada kali ini. Derasnya aliran kebencian dan arus masa yang ikut dalam demonstrasi-demonstrasi anti Ahok, sepertinya telah berhasil menanamkan rasa takut di elite-elite politik pendukung Ahok. Mereka telah terbawa dalam permainan strategi oposisi Ahok, yang misinya adalah menjadikan isu Ahok lebih dari isu DKI, tapi isu Nasional. Tiba-tiba, membela Ahok dan membebaskannya bicara dengan gayanya yang sebenarnya, ceplas-ceplos, berani dan lugas, sama saja dengan mengancam kesatuan NKRI. Ahok harus diatur, harus dibungkam.
Tiba-tiba, muncul seorang kandidat, terutama pada putaran satu ke putaran kedua kemarin, yang seakan masuk ke tubuh Ahok, namun ia jelas bukanlah Ahok. Ahok 2.0, saya menyebutnya. Kalau Ahok 1.0 berani menyatakan seseorang sebagai maling, Ahok 2.0 akan senyum dan bercanda, dan tidak lagi menunjuk langsung muka orang yang menurutnya bertanggung jawab. Kekalahan Ahok adalah nyata apabila calon pemilih mulai lupa bahwa ketegasan dan keberanian adalah karakteristik yang unik bagi Ahok, ditengah kepalsuan dan kebohongan politik di negeri ini. Itulah yang kita saksikan dengan perubahan karakter bicara Anies yang tadinya lemah lembut menjadi tegas dan berani. Tim Anies melihat penurunan agresifitas ahok dalam berbicara dan menilainya sebagai titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Anies. Perlahan, tingkat popularitas Ahok yang begitu tinggi, yang lalu terkikis oleh kehadiran Agus, kini semakin menukik tajam karena ketidakjelasan dari brand Ahok sendiri.
Mari kita buat lebih simpel. Bayangkan anda membeli sebotol kecap. Anda membeli kecap ini karena tiga alasan: pertama, kecap ini kecap nomor satu, menurut label di botolnya. Kedua, kecap ini yang paling manis, ketiga, kecap ini yang paling murah. Di pasaran, kecap ini punya market share nomor 1.
Lalu muncul kompetisi baru. Bayangkan anda tetap ingin mengkonsumsi kecap yang sebelumnya anda sukai. Tapi perlahan kecap ini, tanpa dorongan dari siapapun, mengubah dirinya sendiri. Tiba-tiba, dilabelnya tidak ada lagi label bahwa ia kecap nomor satu, karena ia takut dituntut ke pengadilan. Rasa manisnya berkurang, dan ketiga, kecap yang baru muncul ternyata lebih murah.
Apakah anda tetap memilih kecap yang anda sukai sebelumnya?
Saat seorang kandidat lupa mengapa pemilih mencintai dan memilihnya, saat itu juga ia berubah dari seorang kandidat menjadi semata politisi. Seorang yang reaktif, yang membiarkan strategi lawan mengatur tempo strateginya sendiri, dan membiarkan bola selamanya berada dikaki lawannya.
Namun kekalahan Ahok bukan hanya salah dirinya sendiri.
Secara tidak langsung, kubu oposisi Ahok dengan membawa isu penistaan agama yang sebenarnya tidak relevan dengan performanya sebagai gubernur, telah berhasil mencapai satu titik kritikal yang sangat fatal bagi semua kampanye politik: mereka berhasil menyandera bukan saja tim kampanye Ahok, tapi juga Jokowi, dan pemerintah pusat. Perhatikan kalimat-kalimat yang disuarakan oleh elite-elite pendukung Anies. Bahwa Ahok adalah ancaman bagi kesatuan NKRI. Kalimat yang terus disuarakan ke media ini ternyata tertanam ke tim Ahok sendiri, karena bahkan ketua umum PDIP Megawati pun mengatakan bahwa Ahok sebaiknya jangan banyak bicara. Bicara, dan mulut Ahok, bukan hanya tindakannya, justru adalah salah satu nilai jual utama Ahok sebagai seorang politisi. Itulah aset utama dari brand politik Basuki Tjahja Purnama.
Kealpaan salah satu nilai jual yang harusnya didorong ke permukaan oleh tim kampanye Ahok adalah kesalahan yang didorong oleh ketakutan psikologis orang-orang disekeliling Ahok akan arus balik oposisi terhadap dirinya. Sementara kandidat yang mereka tengah kampanyekan justru adalah seorang yang berani; seorang fighter. Tidak masuk akal. Dan hasilnya bisa disaksikan sendiri.
Kembali ke kutipan Steve Jobs tentang Apple, sayangnya tidak ada figur Steve Jobs yang bisa mengingatkan Apple siapa mereka sebenarnya. Tidak ada kisah comeback dengan ending yang bahagia, yang kita saksikan hanyalah kebangkrutan dari brand politik Basuki Tjahja Purnama, sebuah kebangkrutan yang bisa dicegah sebenarnya, kalau saja Ahok ingat siapa Ahok sebenarnya.