Salah satu aturan yang cukup umum diketahui banyak orang tentang penjudulan sebuah artikel adalah, apabila terdapat tanda tanya diakhir judul, maka biasanya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak.
Namun pada artikel New York Times yang berjudul, Is china The World’s New Colonial Power? ini, saya tidak sepenuhnya yakin jawabannya adalah tidak.
Terlepas dari judul yang cenderung sensasionalis, artikelnya sendiri sangat bagus, dan menceritakan dengan detail bagaimana China saat ini dan sudah bertahun lamanya masuk ke Afrika dan menyuntikkan investasi yang begitu besar.
Driven by economics (a hunger for resources and new markets) and politics (a longing for strategic allies), Chinese companies and workers have rushed into all parts of the world. In 2000, only five countries counted China as their largest trading partner; today, more than 100 countries do, from Australia to the United States. The drumbeat of proposed projects never stops: a military operating base, China’s first overseas, in Djibouti; an $8 billion high-speed railway through Nigeria; an almost-fantastical canal across Nicaragua expected to cost $50 billion. Even as China’s boom slows down, its most ambitious scheme is still ramping up: With the “One Belt, One Road” initiative — its name a reference to trade routes — President Xi Jinping has spoken of putting $1.6 trillion over the next decade into infrastructure and development throughout Asia, Africa and the Middle East. The scheme would dwarf the United States’ post-World War II Marshall Plan for Europe.
Jalan tol, rel kereta, sekolah, segala bentuk pertambangan, infrastruktur militer, dan sebagainya. Jumlah investasi China di Afrika menurut artikel yang sama saat ini sudah mencapai ratusan milyar dollar.
Masuknya investasi China di Afrika tentu saja diikuti dengan isunya sendiri, diantaranya adalah masuknya imigran China, puluhan bahkan ratusan ribu banyaknya, dan dominasi imigran tersebut didalam berbagai bidang, terutama perniagaan sipil.
Namun investasi sebesar itu tentu saja bisa sangat menguntungkan bagi negara-negara berkembang, apalagi di Afrika. China, masih menurut artikel yang sama, mensyaratkan stabilitas di negara-negara tempatnya berinvestasi, dan kontrol penuh, walau secara de facto. Karena itu, kestabilan, keamanan dan upaya untuk mendorong negara-negara Afrika agar tidak berperang, bukan lagi hanya kepentingan negara-negara tersebut, namun juga kepentingan China. Hal ini menyebabkan masuknya China ke Afrika bukan saja berupa investasi, namun juga pengaruh politikarena itu dalam jangka pendek dan menengah, negara-negara ini bisa lebih stabil.
Lalu apa hubungannya artikel ini dengan Indonesia? Well, walau tingkat investasi China di Indonesia cukup besar, tentu skalanya tidak sebesar di Afrika, dan jumlah imigrannya pun tidak sebanyak disana. Namun belum apa-apa, beberapa bulan yang lalu kita sudah melihat antipati dan rasa takut yang ditangkap oleh media di Indonesia melalui headline seperti “Ribuan pekerja China masuk ke Indonesia secara ilegal” dan sebagainya.
Dalam beberapa tahun kedepan, walau masuknya imigran dan pekerja China secara masif ke Indonesia masih sangat diragukan, menurut saya ada beberapa efek tidak langsung yang akan bisa dirasakan.
Pertama, dengan semakin menguatnya China, maka semakin terdengar juga gaung dan aksinya yang sedikit-sedikit menyenggol legitimasi dan kedaulatan Indonesia, maka kita akan mulai mendengar rasa antipati terhadap bukan saja negara China, namun juga orang ber-etnis China.
Saya pikir hal ini sudah harus mulai dipikirkan sejak sekarang, karena konflik horizontal biasanya tumbuh dalam keheningan, sampai meletus suatu keributan. Ribut-ribut pilkada DKI dan keberadaan Ahok masih membawa-bawa agama, dan tidak terlalu menyentuh etnis, namun kedepannya, sangat mugkin kebencian terhadap satu etnis tertentu akan dipakai sebagai amunisi politik. Mari berharap kebijaksanaan dari politisi kita, karena sudah mememlihara anak macan, mari kita tidak memelihara anak harimau juga.
Kedua, tingkat investasi dan gairah China untuk mewujudkan mimpi “One Belt, One Road”-nya, suatu saat, apabila pertumbuhan ekonominya tidak semakin melambat, akan sampai ke depan pintu Indonesia. Didalamnya ada janji investasi yang masif, dan harapan akan menyatukan Asia dibawah payung China.
Akan sangat mudah, bagi investasi-investasi ini masuk ke Indonesia tanpa pengawasan yang cukup, karena jumlahnya yang begitu besar, dan kultur lobi China yang cukup mirip dengan Indonesia, dimana etik tidak terlalu diperhatikan. Dampaknya adalah masuknya pengaruh China berupa uang dan dukungan ke figur-figur politisi di negeri ini, karena untuk mewujudkan mimpi tersebut, China perlu stabilitas dan keamanan untuk investasinya. Aliran dana ke tangan yang salah bisa mendorong gerakan reformasi negeri ini ke jalan yang salah juga.
Indonesia beruntung, disekeliling kita terdapat beberapa negara yang akan berfungsi sebagai semacam filtering element atau buffer bagi masuknya kepentingan China ke Indonesia. Terlepas dari dekatnya Singapore dengan China, misalnya, singapore tetap negara kecil yang perlu mempertimbangkan kepentingan Filipina, Thailand dan Malaysia, yang ketiganya saat ini hubungannya kurang begitu baik dengan China karena kasus laut China selatan.
Lalu kembali ke artikel New York Times dengan judul bertanda tanya itu, apakah jawabannya tidak? Rasanya memang terlalu berlebihan melabeli masuknya China ke Afrika sebagai bentuk kolonialisme. Neo-kolonialisme berupa “penjajahan” ekonomi mungkin, tapi rasanya semua orang yang belajar tentang sejarah kolonialisme Eropa bisa tahu bahwa yang dilakukan China sekarang ini bukan apa-apa.
Dimasa depan? Siapa tahu. Tapi menarik juga membayangkan apabila China menjadi negara yang egosentris seperti negara-negara Eropa di era kolonialis, maka berarti bukan cuma orang barat saja yang bisa jadi penjajah, orang timur pun bisa. Yang diperlukan hanya kekuatan tanpa penanding nyata.