PDI-P dan Gerindra, Dua sisi Mata Koin

Pandangan saya terhadap PDI-P cenderung diwarnai lensa romantis masa lalu. Saya masih ingat, saat saya masih SD dan Megawati diumumkan sebagai Presiden, seorang teman saya dengan bangganya menunjukkan stiker banteng bermata merah yang ia tempelkan di mejanya. Megawati dan PDI-P adalah sinonim dengan gerakan anti orde-baru, dan saya menghormati konsistensinya. PDI-P adalah satu-satunya partai yang masih mempertahankan posisinya sebagai partai “wong cilik” yang jarang mengambil pilihan-pilihan kontroversial dalam sidang di parlemen. Apabila Megawati masuk hitungan sebagai salah satu cendekia pendiri Reformasi selain Amien Rais, Gus Dur dan Habibie, maka ialah satu-satunya yang masih aktif berkecimpung dalam politik praktis sehari-hari. Ia juga satu-satunya yang belum kehilangan kontrol terhadap partai yang ia dirikan.

Namun kecendrungan PDI-P kepada kultus individu Megawati juga menjadi kelemahan yang sangat mudah ditelisik. Pergerakan partai ini sangat jauh dari dinamis. Perhitungan-perhitungan politiknya sangat konvensional, dan mudah ditebak. Satu-satunya hal yang jadi nilai positif PDI-P dalam pemilihan strateginya adalah mereka sepertinya mendapat berkah mempunyai kader-kader yang populer dimata publik. Jokowi, Risma, Ganjar Pranowo, Budiman Sudjatmiko, dan masih banyak lagi, membuat partai ini sepertinya akan terus menjadi kompetitor serius disetiap pemilihan umum yang akan datang.

Gerindra, disisi lain, adalah partai yang bisa disebut antitesis dari PDI-P. Pendirinya, Prabowo Subianto, sebagai menantu dari mantan Presiden Soeharto, sangat erat hubungannya dengan orde baru. Begitu juga dengan Fadli Zon, dan punggawa-punggawa partai lainnya. Apabila Hanura dan Nasdem dikategorikan sebagai Golkar 2.0 yang menekankan politik jual-beli dan aliansi dengan pihak yang tengah berkuasa, Gerindra dimata saya adalah pecahan Golkar yang berambisi ingin menghidupkan kembali Golkar 1.0, yang berarti politiknya menggurita. Agar sebuah Partai mampu mencapai target tersebut, tentu perlu aliran dana yang tidak kecil. Untungnya, partai ini mempunyai Prabowo Soebianto.

Disinilah kesamaan antara kedua partai ini dimulai. Dalam keduanya, terdapat dominasi begitu kuat dari pendiri partai dalam politik praktis, ditambah lagi dibanding partai-partai besar lainnya, keduanya saat ini punya kader-kader muda yang potensial. Bukan sesumbar namun saya bertaruh bahwa dalam beberapa tahun kedepan, kandidat-kandidat yang muncul sebagai calon pemimpin akan muncul dari kedua partai ini, dan partai-partai lain hanya akan menjadi cheerleaders.

Sayangnya, kesamaan kedua partai ini dalam menggantungkan strategi politiknya kepada sang pendiri sepertinya akan menentukan siapa yang akan muncul sebagai pemenang dimasa depan. Gerindra terlihat lebih dinamis daripada PDI-P, dan cenderung berani dalam mengeksekusi strategi yang sangat beresiko, seperti dalam Pilkada DKI. Pemecahan suara menggunakan Demokrat sebagai bemper, penyeretan Ahok dan mendekamnya sang Gubernur DKI di penjara saat ini adalah bukti begitu berambisinya Gerindra untuk mendominasi kancah politik Indonesia. Pendeknya, Gerindra berani membumi-hanguskan lawan-lawannya, sementara PDI-P masih senang bicara “mesin politik” dan frasa-frasa politik tradisional negeri ini, yang kedepannya akan sangat kecil maknanya.

Lalu, dimana peran Presiden kita saat ini, Jokowi, yang tentu saja adalah salah satu keajaiban terbesar dari “mesin politik” PDI-P? Jujur saja, saya tidak tahu. Kalau ada versi lelaki dari Megawati, yang cenderung keras kepala, maka Jokowi lah orangnya. Saya hanya takut dalam pertaruhan memutar balikkan koin di udara, Gerindra lah pemenangnya.

New York Times: China Kekuatan Kolonialis Baru

Salah satu aturan yang cukup umum diketahui banyak orang tentang penjudulan sebuah artikel adalah, apabila terdapat tanda tanya diakhir judul, maka biasanya jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak.

Namun pada artikel New York Times yang berjudul, Is china The World’s New Colonial Power? ini, saya tidak sepenuhnya yakin jawabannya adalah tidak.

Terlepas dari judul yang cenderung sensasionalis, artikelnya sendiri sangat bagus, dan menceritakan dengan detail bagaimana China saat ini dan sudah bertahun lamanya masuk ke Afrika dan menyuntikkan investasi yang begitu besar.

Driven by economics (a hunger for resources and new markets) and politics (a longing for strategic allies), Chinese companies and workers have rushed into all parts of the world. In 2000, only five countries counted China as their largest trading partner; today, more than 100 countries do, from Australia to the United States. The drumbeat of proposed projects never stops: a military operating base, China’s first overseas, in Djibouti; an $8 billion high-speed railway through Nigeria; an almost-fantastical canal across Nicaragua expected to cost $50 billion. Even as China’s boom slows down, its most ambitious scheme is still ramping up: With the “One Belt, One Road” initiative — its name a reference to trade routes — President Xi Jinping has spoken of putting $1.6 trillion over the next decade into infrastructure and development throughout Asia, Africa and the Middle East. The scheme would dwarf the United States’ post-World War II Marshall Plan for Europe.

Jalan tol, rel kereta, sekolah, segala bentuk pertambangan, infrastruktur militer, dan sebagainya. Jumlah investasi China di Afrika menurut artikel yang sama saat ini sudah mencapai ratusan milyar dollar.

Masuknya investasi China di Afrika tentu saja diikuti dengan isunya sendiri, diantaranya adalah masuknya imigran China, puluhan bahkan ratusan ribu banyaknya, dan dominasi imigran tersebut didalam berbagai bidang, terutama perniagaan sipil.

Namun investasi sebesar itu tentu saja bisa sangat menguntungkan bagi negara-negara berkembang, apalagi di Afrika. China, masih menurut artikel yang sama, mensyaratkan stabilitas di negara-negara tempatnya berinvestasi, dan kontrol penuh, walau secara de facto. Karena itu, kestabilan, keamanan dan upaya untuk mendorong negara-negara Afrika agar tidak berperang, bukan lagi hanya kepentingan negara-negara tersebut, namun juga kepentingan China. Hal ini menyebabkan masuknya China ke Afrika bukan saja berupa investasi, namun juga pengaruh politikarena itu dalam jangka pendek dan menengah, negara-negara ini bisa lebih stabil.

Lalu apa hubungannya artikel ini dengan Indonesia? Well, walau tingkat investasi China di Indonesia cukup besar, tentu skalanya tidak sebesar di Afrika, dan jumlah imigrannya pun tidak sebanyak disana. Namun belum apa-apa, beberapa bulan yang lalu kita sudah melihat antipati dan rasa takut yang ditangkap oleh media di Indonesia melalui headline seperti “Ribuan pekerja China masuk ke Indonesia secara ilegal” dan sebagainya.

Dalam beberapa tahun kedepan, walau masuknya imigran dan pekerja China secara masif ke Indonesia masih sangat diragukan, menurut saya ada beberapa efek tidak langsung yang akan bisa dirasakan.

Pertama, dengan semakin menguatnya China, maka semakin terdengar juga gaung dan aksinya yang sedikit-sedikit menyenggol legitimasi dan kedaulatan Indonesia, maka kita akan mulai mendengar rasa antipati terhadap bukan saja negara China, namun juga orang ber-etnis China.

Saya pikir hal ini sudah harus mulai dipikirkan sejak sekarang, karena konflik horizontal biasanya tumbuh dalam keheningan, sampai meletus suatu keributan. Ribut-ribut pilkada DKI dan keberadaan Ahok masih membawa-bawa agama, dan tidak terlalu menyentuh etnis, namun kedepannya, sangat mugkin kebencian terhadap satu etnis tertentu akan dipakai sebagai amunisi politik. Mari berharap kebijaksanaan dari politisi kita, karena sudah mememlihara anak macan, mari kita tidak memelihara anak harimau juga.

Kedua, tingkat investasi dan gairah China untuk mewujudkan mimpi “One Belt, One Road”-nya, suatu saat, apabila pertumbuhan ekonominya tidak semakin melambat, akan sampai ke depan pintu Indonesia. Didalamnya ada janji investasi yang masif, dan harapan akan menyatukan Asia dibawah payung China.

Akan sangat mudah, bagi investasi-investasi ini masuk ke Indonesia tanpa pengawasan yang cukup, karena jumlahnya yang begitu besar, dan kultur lobi China yang cukup mirip dengan Indonesia, dimana etik tidak terlalu diperhatikan. Dampaknya adalah masuknya pengaruh China berupa uang dan dukungan ke figur-figur politisi di negeri ini, karena untuk mewujudkan mimpi tersebut, China perlu stabilitas dan keamanan untuk investasinya. Aliran dana ke tangan yang salah bisa mendorong gerakan reformasi negeri ini ke jalan yang salah juga.

Indonesia beruntung, disekeliling kita terdapat beberapa negara yang akan berfungsi sebagai semacam filtering element atau buffer bagi masuknya kepentingan China ke Indonesia. Terlepas dari dekatnya Singapore dengan China, misalnya, singapore tetap negara kecil yang perlu mempertimbangkan kepentingan Filipina, Thailand dan Malaysia, yang ketiganya saat ini hubungannya kurang begitu baik dengan China karena kasus laut China selatan.

Lalu kembali ke artikel New York Times dengan judul bertanda tanya itu, apakah jawabannya tidak? Rasanya memang terlalu berlebihan melabeli masuknya China ke Afrika sebagai bentuk kolonialisme. Neo-kolonialisme berupa “penjajahan” ekonomi mungkin, tapi rasanya semua orang yang belajar tentang sejarah kolonialisme Eropa bisa tahu bahwa yang dilakukan China sekarang ini bukan apa-apa.

Dimasa depan? Siapa tahu. Tapi menarik juga membayangkan apabila China menjadi negara yang egosentris seperti negara-negara Eropa di era kolonialis, maka berarti bukan cuma orang barat saja yang bisa jadi penjajah, orang timur pun bisa. Yang diperlukan hanya kekuatan tanpa penanding nyata.

Ahok Lupa Siapa Ahok Sebenarnya

In order for Apple to Survive, Apple needs to remember what Apple really was

(Agar Apple bisa selamat, Apple harus ingat apa sebenarnya Apple itu)

– Steve Jobs

Itulah kutipan dari CEO dan pendiri Apple yang terngiang di benak saya saat menyaksikan hasil pilkada DKI Jakarta Putaran kedua kemarin. Steve Jobs, CEO Legendaris yang bersama sahabatnya Steve Wozniak mendirikan Apple dan memulai revolusi komputer pribadi pada pertengahan dekade 70-an, mengeluarkan pernyataan tersebut saat ia ditanya oleh Walt Mossberg, seorang wartawan teknologi senior, tentang bagaimana ia bisa menyelamatkan Apple dari jurang kebangkrutan ditengah dekade 90an, saat ia kembali dipilih menjadi CEO Apple setelah sebelumnya ditendang dari perusahaan yang ia dirikan sendiri. Apple, yang saat itu  sudah dinyatakan “tamat” oleh berbagai pakar dan pengamat industri, ternyata bisa kembali lagi dan malah menjadi perusahaan yang memimpin tren dan inovasi di industri dibawah kepemimpinan Steve Jobs, sebelum ia akhirnya meninggal dunia di 2011.

Pendapat Jobs, bahwa Apple gagal karena perusahaan ini sudah lupa akan identitasnya, adalah pendapat yang sangat relevan dengan kekalahan Ahok, yang pada September tahun lalu mempunyai tingkat popularitas yang begitu tinggi sampai-sampai partai-partai oposisi kebingungan mencari kandidat untuk melawannya. Beberapa, termasuk saya malah sudah sesumbar mengatakan bahwa periode kedua kursi gubernur dipegang oleh Ahok adalah suatu keniscayaan.

Tapi tidak. Walau saya pendukung Ahok, ucapan selamat, dan topi saya angkat untuk keberanian dan ketajaman strategi dari kubu oposisi terhadap Ahok. Mereka telah berhasil menjalankan strategi politik yang menurut saya bisa dicairkan menjadi satu kalimat misi: Buat Rakyat DKI, dan Ahok sendiri, lupa siapa Ahok sebenarnya.

Apa maksud saya, dengan kalimat tersebut? Cukup simpel. Apabila anda berjalan ke pinggiran kota Jakarta, atau bertanya pada orang yang tidak begitu sadar akan politik, pertengahan tahun lalu, siapa Ahok, dan bagaimana mereka mengkarakterisasikan Ahok, mungkin anda akan mendengar kata-kata berikut: tegas, kerjanya cepat. Ceplas-ceplos. Berani. Tapi agak kasar.

Apabila anda berjalan dan menanyakan hal yang sama pada bulan lalu, kata-kata yang keluar akan lain. Kasus penistaan agama telah mempengaruhi opini masyarakat tentang Ahok, tentu, tapi menurut saya bukan ini saja faktor yang bermain dalam enam bulan terakhir.

Berikut strategi oposisi Ahok yang dijalankan selama enam bulan terakhir, dalam pandangan saya. Pertama, dan prioritas utama, adalah tidak ada yang bisa memungkiri bahwa tingkat popularitas Ahok terlalu tinggi. Strategi apapun akan gagal melawan tingkat popularitas diatas 60 persen, disemua pemilu diseluruh dunia. Karena itu mereka perlu dua hal. Pertama, mereka perlu waktu. Dua, seorang figur yang bisa paling tidak mengikis dan mengambil alih kira-kira 10 persen popularitas Ahok, dengan harapan bahwa Ahok tidak bisa mencapai angka ajaib 51%.

Dua misi ini tercapai dengan satu kandidat kuda Trojan, yaitu Agus. Kandidat yang kurang lebih hanya berfungsi sebagai mata uang yang membeli waktu bagi kubu oposisi. Saat saya mendengar kabar bahwa oposisi Ahok pecah menjadi dua, dan salah satu kandidatnya adalah anak dari mantan presiden SBY, saya sudah yakin bahwa diluar dari memecah suara pendukung Ahok dan membeli waktu, Agus juga berguna sebagai alat pengukur kemungkinan menang mereka melawan Ahok di putaran kedua. 10% adalah angka yang saya pikir ideal untuk Agus dapatkan. Apabila tingkat popularitas Ahok saat itu 60%, maka mari kita asumsikan 40% tidak akan memilih ahok. Dengan 10% suara dari Agus, maka hasilnya untuk putaran kedua adalah 50-50. Mereka punya kesempatan.

Namun kita tahu apa yang terjadi. Agus mendapatkan 17% suara, dan saat itulah saya berpendapat bahwa Ahok, apabila kondisinya tidak berubah, sebenarnya sudah tamat.

Namun Ahok, bahkan dengan kondisi elektabilitas yang terkikis tajam dengan kehadiran Agus, masih bisa menang, apabila strategi yang dijalankan tepat. Strategi seorang kandidat dalam sebuah pemilu, menurut pendapat saya haruslah dibuat dan dirancang mengikuti karakter kandidat, dan bukan sebaliknya. Begitulah caranya Donald Trump, seseorang yang telah diolok-olok selama bertahun-tahun, bisa berhasil mengalahkan seorang operator politik senior dengan jaringan dan mesin yang menggurita seperti Hillary Clinton. Bahkan saat semua orang disekeliling Trump menyatakan dirinya menginjak kakinya sendiri dengan kalimat-kalimat yang tidak populer, rasis dan sebagainya, ia bisa menang, karena Trump, ingat siapa Trump sebenarnya. Tidak ada dusta diantara dirinya dan calon pemilihnya. Anda memilih Trump karena anda tahu apa yang anda pilih.

Tidak begitu dengan Ahok di Pilkada kali ini. Derasnya aliran kebencian dan arus masa yang ikut dalam demonstrasi-demonstrasi anti Ahok, sepertinya telah berhasil menanamkan rasa takut di elite-elite politik pendukung Ahok. Mereka telah terbawa dalam permainan strategi oposisi Ahok, yang misinya adalah menjadikan isu Ahok lebih dari isu DKI, tapi isu Nasional. Tiba-tiba, membela Ahok dan membebaskannya bicara dengan gayanya yang sebenarnya, ceplas-ceplos, berani dan lugas, sama saja dengan mengancam kesatuan NKRI. Ahok harus diatur, harus dibungkam.

Tiba-tiba, muncul seorang kandidat, terutama pada putaran satu ke putaran kedua kemarin, yang seakan masuk ke tubuh Ahok, namun ia jelas bukanlah Ahok. Ahok 2.0, saya menyebutnya. Kalau Ahok 1.0 berani menyatakan seseorang sebagai maling, Ahok 2.0 akan senyum dan bercanda, dan tidak lagi menunjuk langsung muka orang yang menurutnya bertanggung jawab. Kekalahan Ahok adalah nyata apabila calon pemilih mulai lupa bahwa ketegasan dan keberanian adalah karakteristik yang unik bagi Ahok, ditengah kepalsuan dan kebohongan politik di negeri ini. Itulah yang kita saksikan dengan perubahan karakter bicara Anies yang tadinya lemah lembut menjadi tegas dan berani. Tim Anies melihat penurunan agresifitas ahok dalam berbicara dan menilainya sebagai titik lemah yang bisa dieksploitasi oleh Anies. Perlahan, tingkat popularitas Ahok yang begitu tinggi, yang lalu terkikis oleh kehadiran Agus, kini semakin menukik tajam karena ketidakjelasan dari brand Ahok sendiri.

Mari kita buat lebih simpel. Bayangkan anda membeli sebotol kecap. Anda membeli kecap ini karena tiga alasan: pertama, kecap ini kecap nomor satu, menurut label di botolnya. Kedua, kecap ini yang paling manis, ketiga, kecap ini yang paling murah. Di pasaran, kecap ini punya market share nomor 1.

Lalu muncul kompetisi baru. Bayangkan anda tetap ingin mengkonsumsi kecap yang sebelumnya anda sukai. Tapi perlahan kecap ini, tanpa dorongan dari siapapun, mengubah dirinya sendiri. Tiba-tiba, dilabelnya tidak ada lagi label bahwa ia kecap nomor satu, karena ia takut dituntut ke pengadilan. Rasa manisnya berkurang, dan ketiga, kecap yang baru muncul ternyata lebih murah.

Apakah anda tetap memilih kecap yang anda sukai sebelumnya?

Saat seorang kandidat lupa mengapa pemilih mencintai dan memilihnya, saat itu juga ia berubah dari seorang kandidat menjadi semata politisi. Seorang yang reaktif, yang membiarkan strategi lawan mengatur tempo strateginya sendiri, dan membiarkan bola selamanya berada dikaki lawannya.

Namun kekalahan Ahok bukan hanya salah dirinya sendiri.

Secara tidak langsung, kubu oposisi Ahok dengan membawa isu penistaan agama yang sebenarnya tidak relevan dengan performanya sebagai gubernur, telah berhasil mencapai satu titik kritikal yang sangat fatal bagi semua kampanye politik: mereka berhasil menyandera bukan saja tim kampanye Ahok, tapi juga Jokowi, dan pemerintah pusat. Perhatikan kalimat-kalimat yang disuarakan oleh elite-elite pendukung Anies. Bahwa Ahok adalah ancaman bagi kesatuan NKRI. Kalimat yang terus disuarakan ke media ini ternyata tertanam ke tim Ahok sendiri, karena bahkan ketua umum PDIP Megawati pun mengatakan bahwa Ahok sebaiknya jangan banyak bicara. Bicara, dan mulut Ahok, bukan hanya tindakannya, justru adalah salah satu nilai jual utama Ahok sebagai seorang politisi. Itulah aset utama dari brand politik Basuki Tjahja Purnama.

Kealpaan salah satu nilai jual yang harusnya didorong ke permukaan oleh tim kampanye Ahok adalah kesalahan yang didorong oleh ketakutan psikologis orang-orang disekeliling Ahok akan arus balik oposisi terhadap dirinya. Sementara kandidat yang mereka tengah kampanyekan justru adalah seorang yang berani; seorang fighter. Tidak masuk akal. Dan hasilnya bisa disaksikan sendiri.

Kembali ke kutipan Steve Jobs tentang Apple, sayangnya tidak ada figur Steve Jobs yang bisa mengingatkan Apple siapa mereka sebenarnya. Tidak ada kisah comeback dengan ending yang bahagia, yang kita saksikan hanyalah kebangkrutan dari brand politik Basuki Tjahja Purnama, sebuah kebangkrutan yang bisa dicegah sebenarnya, kalau saja Ahok ingat siapa Ahok sebenarnya.